Minggu, 18 Desember 2011

Tragedi Mesuji cermin dari derita petani


Retorika yang dibangun pemerintah bahwa petani kecil akan dilindungi, kini runtuh oleh tragedi kekerasan di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Kasus kekerasan yang menewaskan beberapa petani itu mencermintan bahwa penguasa di negeri ini lebih berpihak pada pemodal besar ketimbang rakyat kecil.
Tragedi Mesuji adalah tragedi buruk kaum tani tak bertanah, yang jumlahnya mayoritas di negeri ini. Sampai sejauh ini, ketersediaan lahan adalah persoalan terbesar yang dihadapi mereka.
Selama periode pasca-reformasi, korban petani penggarap yang meninggal dunia mencapai 120 orang, akibat diterjang peluru aparat. Padahal di sisi lain, proses perkembangan organisasi tani nasional tumbuh subur bak jamur. Namun ironisnya dua sisi tersebut tidak pernah saling bertemu, seolah masing-masing berjalan direlnya sendiri.
Di awal reformasi, proses perjuangan kaum tani tak bertanah dan petani gurem (petani yag produksinya hanya cukup untuk dimakan sendiri) yang jumlahnya jutaan di negeri, seakan mendapat gairah dan tenaga baru untuk bangkit. Mereka ingin merebut kemenangan.
Namun setelah melalui proses panjang, ternyata perjuangan mereka tidak menemukan titik terang. Proses pemiskinan petani di pedesaan pada jaman Orde Baru ternyata tidak berhenti setelah rejim berganti di era reformasi. "Bahkan tekanan terhadap mereka justru semakin menjadi-jadi," ujar Ketua Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustina.
Fenoma pemiskinan yang dialami kaum tani itu terlihat dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2009. Disebutkann bahwa dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki tanah, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar.
Saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsistem. Hal ini menunjukkan bahwa desa yang merupakan sumber produksi pangan ternyata penduduknya dililit kemiskinan. Kemiskinan penduduk desa ini ditandai dengan kepemilikan tanah yang sempit dan rata-rata hanya sebagai tanah garapan.
Sensus Pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2007 mencatat 27 juta rakyat tak bertanah dan 56,5% dari mereka memiliki kurang dari 0,5 ha lahan. Padahal pada 1983 persentasi pemilik lahan terbatas itu mencapai 40,8%.
Data tersebut menunjukkan bahwajumlah petani gurem bukannya berkurang, tapi malah meningkat. Penyebabnya adalah desakan pembangunan areal perkebunan besar. Itu dibuktikan dengan data lahan perkebunan meningkat dari 5 juta ha pada 1983 menjadi 11,7 juta ha pada 2003.
Setiap tahun terjadi konvetsi ratusan ribu lahan pertanian menjadi areal pemukiman dan industri. Semakin lama, lahan para petani makin menyempit, bahkan banyak yang tidak punya lahan. Para petani terpaksa menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan karena memungkinkan semakin tingginya ketimpangan lahan dan dilanggarnya hak-hak dasar petani.
Kondisi pemiskinan petani itu ironis dengan citra Indonesia sebagai negara agraris. Karena itu, pemerintah harus mengembalikan negeri ini ke jalur yang benar, yakni memprioritaskan pembangunan pertanian.
Karena irtu, pemerintah perlu mendukung perjuangan petani tak bertanah dan petani gurem. Perjuangan petani adalah inti dari gerakan mencapai rakyat sejahtera dan Indonesia yang lebih baik serta berkesesuaian dengan nilai–nilai luhur yang dimilki oleh masyarakat agraris.
DPR dan pemerintah harus segera merealisasikan pengesahan RUU Pelaksanaan Reforma Agraria. Regulasi tersebut membawa harapan baru sejalan dengan upaya mengatasi ketimpangan, kemiskinan dan ketidakadilan.
sumber; dari berbagai sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Mau kritik? Saran? berkomentar? ayo cepetan! jangan spam ya!